“Dokter
Spesialis Enggan Mengabdi di Merauke”. Itu adalah judul sebuah artikel yang
berada pada urutan paling atas ketika saya melakukan search pada situs www.google.com dengan kata kunci “dokter
indonesia”. Dan tertera pada artikel itu sebuah kutipan
dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke, Adolf J Bolang, yang
mengatakan bahwa dokter spesialis yang hendak direkrut selalu meminta beberapa
syarat seperti fasilitas mobil, gaji besar, jatah perjalanan dinas, dan
fasilitas untuk ikut simposium dan seminar kedokteran.[1]
Hal
yang membanggakan? Atau hal yang memalukan? Tentunya artikel tersebut tidak
berada pada urutan paling atas dalam sebuah penelusuran kata kunci jika artikel
tersebut jarang dibuka orang. Dan itu artinya, sebelum saya, sudah banyak orang
yang membaca artikel berisi keburukan dan aib dokter di Indonesia tersebut.
Masih mending jika yang membacanya hanya dokter-dokter Indonesia, bagaimana
jika yang membaca sudah sampai dokter-dokter atau orang-orang di negara lain?
Apa patut kita bangga atas rasa patriotisme dokter Indonesia sekarang ini? Apa
itu hasil belajar dokter Indonesia selama kurang lebih lima tahun? Dan apakah
itu yang disebut pengabdian dokter untuk Indonesia?
Dokter bukanlah profesi yang bekerja
hanya ketika mereka menginginkan untuk bekerja, dokter bukanlah profesi yang
hanya mencari keuntungan untuk dirinya semta, namun dokter adalah abdi, dimana
kata abdi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang bawahan,
pelayan, atau hamba[2].
Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahawa dokter adalah
profesi yang rendah dan hanya bisa menjadi pesuruh, malah mengatakan dokter
sebagai abdi di sini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dokter memiliki
tanggungan yang besar di punggungnya, dokter adalah orang yang diharapkan oleh
rakyat Indonesia untuk dapat berjuang demi negaranya, dan dokter pun merupakan
pelayan rakyat Indonesia dalam khususnya pada bidang kesehatan sebagai bidang
yang ia tekuni saat menuntut ilmu. Maka dimensi pengabdian dokter sendiri
sangatlah luas, tidak harus sebagai tenaga kesehatan, namun juga sebagai
pejuang bangsa yang siap membela bangsanya.
Lalu apa saja sebenarnya bentuk pengabdian
yang dapat dilakukan oleh seorang dokter? Hanya mengobati orang sakit? Sayang
sekali jika sampai sekarang kita masih berpikir seperti itu. Dulu, saat masa
Pergerakan Nasional, berdirilah Boedi Oetomo, pada 20
Mei 1908. Dimana mahasiswa dokter bernama Soetomo adalah ketua pertama.
Berdirinya Boedi Oetomo, bagi sebagian pihak dianggap sebagai momen Kebangkitan
Bangsa Indonesia.[3]
Hal itu membuktikan bahwa dokter atau mahasiswa kedokteran bukanlah hanya orang
yang dapat mengobati orang sakit, namun juga menjadi pelopor perubahan,
pemimpin organisasi yang luar biasa, dan seorang nasionalis yang berdedikasi.
Tak berhenti
sampai di situ saja, bahkan dahulu beberapa mahasiswa kedokteran pernah
mendapat latihan militer singkat Daidan (Batalyon) PETA Jakarta. Lalu itu pun
belum apa-apa, seorang dokter yang mungkin tidak banyak dari mahasiswa
kedokteran hari ini kenal, dr. Rubiono Kertapati adalah orang penting dalam
intelejen ketika Sukarno berkuasa. Dimana Rubiono terbiasa menjadi analis
intelejen bagi Sukarno.[4]
Dia bahkan dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia. Dia aktif dalam
Depatemen Pertahan ketika Republik baru berdiri. Dia punya pangkat Letnan
Kolonel. Jadi? Masih merasa apa yang kita lakukan sampai sekarang sudah cukup?
Masih mau mencari celah agar bisa terhindar dari tugas-tugas untuk mengabdi
kepada tanah air? Jika ya, maka berhentilah menjadi dokter ataupun mahasiswa
kedokteran sekarang juga.
Pada tahun 1950,
jumlah dokter di Indonesia baru mencapai 2.500 orang, lalu pada tahun 1968, jumlah
tersebut meningkat dua kali lipat menjadi 5.000 orang. Sekarang? Mungkin sudah
puluhan ribu dokter di Indonesia.[5]
Namun apakah semua dokter yang ada di Indonesia sekarang mau mengabdikan
dirinya sebagai dokter untuk Indonesia? Jawabannya sudah jelas tidak. Paragraf
pertama pada tulisan saya kali ini saya pikir sudah dapat menjelaskan banyak
terhadap jawaban tersebut. Dokter banyak yang berdalih bahwa mereka tidak mau
melakukan praktik di tempat terpencil karena fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah kurang kurang, gaji yang didapatkan kecil, sarana transportasi yang
tidak memadai, dan lain sebagainya. Akan tetapi Prof. Anies Baswedan menyanggah
peryataan tersebut dengan sebuah kalimat yang tepat, “Secara konstitusional
peran menyehatkan masyarakat ini memang tanggung jawab negara, tetapi secara
moral ini adalah tanggung jawab mereka yang sudah dididik ilmu kesehatan
masyarakat, yakni para dokter.”[6]
Masalah
selanjutnya yang tak kalah penting adalah dimana kebanyakan dokter hari ini
tidak mau susah susah-susah melakukan tindakan promotif dan preventif, padahal
kedua hal tersebut juga merupakan fungsi dokter selain kuratif dan
rehabilitatif. Mereka merasa dengan praktek di beberapa rumah sakit ataupun
tempat praktek yang mereka dirikan sendiri sudah cukup dianggap sebagai
dedikasi untuk bangsa, mereka merasa semua itu sudah cukup menjadi bentuk
pengabdian mereka untuk Indonesia, sehingga tidak perlu lagi memberikan
pendidikan tentang kesehatan kepada pasien, keluarga pasien ataupun masyarakat
luas. Kali ini Dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K), Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) mengeluarkan sebuah pernyataan terkait masalah
tersebut dalam orasinya, "Dokter berasal dari bahasa latin docere yang berarti mendidik. Ini
berarti tugasnya bukan cuma mengobati tapi juga mendidik pasien, keluarga
pasien, dan masyarakat akan kesehatan."[7]
Sayangnya tidak
banyak institusi pendidikan kedokteran yang mengadakan acara seperti village project dimana peserta didiknya
bisa terjun langsung ke masyarakat yang membutuhkan pertolongannya, khususnya
di pedesaan, dimana alat-alat kedokteran masih sangan minim, penyuluhan tentang
kesehatan pun masih belum banyak didapatkan. Padahal acara-acara seperti itulah
yang bisa menjadi salah satu solusi dari berbagai macam kekurangan dokter
Indonesia dalam hal pengabdian di atas, karena acara-acara seperti ini semain
membuka lebar kesempatan bagi para calon dokter atau bahkan para dokter umum
dan dokter spesialis untuk mengetahui seperti apa sebenarnya keadaan masyarakat
di sekitarnya serta mengetuk hatinya untuk mulai lebih peka dan lebih peduli
serta menumbuhkan rasa sebagai abdi, pelayan untuk Indonesia.
Akan tetapi
kendati pun nantinya para dokter sudah mau mengabdikan dirinya pada negara,
bukan berarti pemerintah bisa dengan mudah melepas mereka dan tidak memikirkan
pengembangan fasilitas kesehatan di pedesaan ataupun kesejahteraan dokter yang
ingin mengabdi tersebut, karena seperti yang dikatakan Prof. Anies Baswedan
tadi, pemerinah tetap bertanggung jawab secara konstitusional terhadap
kesehatan rakyat. Tidak perlu terlalu mewah memang, tapi setidaknya dokter
tersebut bisa nyaman dalam mengabdi kepada bangsa, karena jika tidak,
lama-kelamaan dokter-dokter tersebut pun akan merasa dirugikan oleh pemerintah
jika semua hal tersebut diabaikan.
Sebagai
kesimpulan, dokter adalah sebuah profesi yang luar biasa, dengan
intelektualitas yang juga luar biasa, maka jika seorang dokter hanya melakukan
hal yang biasa orang-orang yang bukan dokter lakukan, maka ia masih perlu
menjalani pendidikan tentang moral yang lebih komprehensif dan konkret. Dan
jika masih ada mahasiswa kedokteran yang tidak memiliki rasa patriotisme serta
tidak ingin mengabdikan dirinya pada rakyat Indonesia, maka jangan pernah
sekali-kali ikut berteriak, “Hidup rakyat Indonesia!” setelah bertertiak “Hidup
mahasiswa!” Karena mereka tidak pantas untuk melakukannya, toh mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri, tanpa memikirkan
kehidupan rakyat Indonesia, rakyat di negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan,
dan dibentuk untuk menjadi seorang dokter nantinya.
[1] http://regional.kompas.com/read/2011/09/12/19260769/Dokter.Spesialis.Enggan.Mengabdi.di.Merauke,
diunduh pada hari Senin,
tanggal 18 Juni 2012.
[2] http://bahasakemendiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari
Selasa, 20 Juni 2012.
[3] Fredrick Willem & Soeri Soeroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi), Jakarta, LP3ES,
2005, hlm 152-172.
[4] Ken Conboy, Intel: Menguak Dunia
Intelejen Indonesia, Jakarta.
[5] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa,
diunduh pada hari Senin,
tanggal 18 Juni 2012
[6] Ibid.
[7] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa,
diunduh pada hari Senin,
tanggal 18 Juni 2012
No comments:
Post a Comment