Search This Blog

Thursday, June 28, 2012

SANG PEJUANG, SEKALIGUS PELAYAN INDONESIA



              “Dokter Spesialis Enggan Mengabdi di Merauke”. Itu adalah judul sebuah artikel yang berada pada urutan paling atas ketika saya melakukan search pada situs www.google.com dengan kata kunci “dokter indonesia”. Dan tertera pada artikel itu sebuah kutipan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke, Adolf J Bolang, yang mengatakan bahwa dokter spesialis yang hendak direkrut selalu meminta beberapa syarat seperti fasilitas mobil, gaji besar, jatah perjalanan dinas, dan fasilitas untuk ikut simposium dan seminar kedokteran.[1] Hal yang membanggakan? Atau hal yang memalukan? Tentunya artikel tersebut tidak berada pada urutan paling atas dalam sebuah penelusuran kata kunci jika artikel tersebut jarang dibuka orang. Dan itu artinya, sebelum saya, sudah banyak orang yang membaca artikel berisi keburukan dan aib dokter di Indonesia tersebut. Masih mending jika yang membacanya hanya dokter-dokter Indonesia, bagaimana jika yang membaca sudah sampai dokter-dokter atau orang-orang di negara lain? Apa patut kita bangga atas rasa patriotisme dokter Indonesia sekarang ini? Apa itu hasil belajar dokter Indonesia selama kurang lebih lima tahun? Dan apakah itu yang disebut pengabdian dokter untuk Indonesia?

            Dokter bukanlah profesi yang bekerja hanya ketika mereka menginginkan untuk bekerja, dokter bukanlah profesi yang hanya mencari keuntungan untuk dirinya semta, namun dokter adalah abdi, dimana kata abdi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang bawahan, pelayan, atau hamba[2]. Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahawa dokter adalah profesi yang rendah dan hanya bisa menjadi pesuruh, malah mengatakan dokter sebagai abdi di sini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dokter memiliki tanggungan yang besar di punggungnya, dokter adalah orang yang diharapkan oleh rakyat Indonesia untuk dapat berjuang demi negaranya, dan dokter pun merupakan pelayan rakyat Indonesia dalam khususnya pada bidang kesehatan sebagai bidang yang ia tekuni saat menuntut ilmu. Maka dimensi pengabdian dokter sendiri sangatlah luas, tidak harus sebagai tenaga kesehatan, namun juga sebagai pejuang bangsa yang siap membela bangsanya.

Lalu apa saja sebenarnya bentuk pengabdian yang dapat dilakukan oleh seorang dokter? Hanya mengobati orang sakit? Sayang sekali jika sampai sekarang kita masih berpikir seperti itu. Dulu, saat masa Pergerakan Nasional, berdirilah Boedi Oetomo, pada 20 Mei 1908. Dimana mahasiswa dokter bernama Soetomo adalah ketua pertama. Berdirinya Boedi Oetomo, bagi sebagian pihak dianggap sebagai momen Kebangkitan Bangsa Indonesia.[3] Hal itu membuktikan bahwa dokter atau mahasiswa kedokteran bukanlah hanya orang yang dapat mengobati orang sakit, namun juga menjadi pelopor perubahan, pemimpin organisasi yang luar biasa, dan seorang nasionalis yang berdedikasi.

Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan dahulu beberapa mahasiswa kedokteran pernah mendapat latihan militer singkat Daidan (Batalyon) PETA Jakarta. Lalu itu pun belum apa-apa, seorang dokter yang mungkin tidak banyak dari mahasiswa kedokteran hari ini kenal, dr. Rubiono Kertapati adalah orang penting dalam intelejen ketika Sukarno berkuasa. Dimana Rubiono terbiasa menjadi analis intelejen bagi Sukarno.[4] Dia bahkan dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia. Dia aktif dalam Depatemen Pertahan ketika Republik baru berdiri. Dia punya pangkat Letnan Kolonel. Jadi? Masih merasa apa yang kita lakukan sampai sekarang sudah cukup? Masih mau mencari celah agar bisa terhindar dari tugas-tugas untuk mengabdi kepada tanah air? Jika ya, maka berhentilah menjadi dokter ataupun mahasiswa kedokteran sekarang juga.


Pada tahun 1950, jumlah dokter di Indonesia baru mencapai 2.500 orang, lalu pada tahun 1968, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat menjadi 5.000 orang. Sekarang? Mungkin sudah puluhan ribu dokter di Indonesia.[5] Namun apakah semua dokter yang ada di Indonesia sekarang mau mengabdikan dirinya sebagai dokter untuk Indonesia? Jawabannya sudah jelas tidak. Paragraf pertama pada tulisan saya kali ini saya pikir sudah dapat menjelaskan banyak terhadap jawaban tersebut. Dokter banyak yang berdalih bahwa mereka tidak mau melakukan praktik di tempat terpencil karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kurang kurang, gaji yang didapatkan kecil, sarana transportasi yang tidak memadai, dan lain sebagainya. Akan tetapi Prof. Anies Baswedan menyanggah peryataan tersebut dengan sebuah kalimat yang tepat, “Secara konstitusional peran menyehatkan masyarakat ini memang tanggung jawab negara, tetapi secara moral ini adalah tanggung jawab mereka yang sudah dididik ilmu kesehatan masyarakat, yakni para dokter.”[6]

Masalah selanjutnya yang tak kalah penting adalah dimana kebanyakan dokter hari ini tidak mau susah susah-susah melakukan tindakan promotif dan preventif, padahal kedua hal tersebut juga merupakan fungsi dokter selain kuratif dan rehabilitatif. Mereka merasa dengan praktek di beberapa rumah sakit ataupun tempat praktek yang mereka dirikan sendiri sudah cukup dianggap sebagai dedikasi untuk bangsa, mereka merasa semua itu sudah cukup menjadi bentuk pengabdian mereka untuk Indonesia, sehingga tidak perlu lagi memberikan pendidikan tentang kesehatan kepada pasien, keluarga pasien ataupun masyarakat luas. Kali ini Dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengeluarkan sebuah pernyataan terkait masalah tersebut dalam orasinya, "Dokter berasal dari bahasa latin docere yang berarti mendidik. Ini berarti tugasnya bukan cuma mengobati tapi juga mendidik pasien, keluarga pasien, dan masyarakat akan kesehatan."[7]

Sayangnya tidak banyak institusi pendidikan kedokteran yang mengadakan acara seperti village project dimana peserta didiknya bisa terjun langsung ke masyarakat yang membutuhkan pertolongannya, khususnya di pedesaan, dimana alat-alat kedokteran masih sangan minim, penyuluhan tentang kesehatan pun masih belum banyak didapatkan. Padahal acara-acara seperti itulah yang bisa menjadi salah satu solusi dari berbagai macam kekurangan dokter Indonesia dalam hal pengabdian di atas, karena acara-acara seperti ini semain membuka lebar kesempatan bagi para calon dokter atau bahkan para dokter umum dan dokter spesialis untuk mengetahui seperti apa sebenarnya keadaan masyarakat di sekitarnya serta mengetuk hatinya untuk mulai lebih peka dan lebih peduli serta menumbuhkan rasa sebagai abdi, pelayan untuk Indonesia.

Akan tetapi kendati pun nantinya para dokter sudah mau mengabdikan dirinya pada negara, bukan berarti pemerintah bisa dengan mudah melepas mereka dan tidak memikirkan pengembangan fasilitas kesehatan di pedesaan ataupun kesejahteraan dokter yang ingin mengabdi tersebut, karena seperti yang dikatakan Prof. Anies Baswedan tadi, pemerinah tetap bertanggung jawab secara konstitusional terhadap kesehatan rakyat. Tidak perlu terlalu mewah memang, tapi setidaknya dokter tersebut bisa nyaman dalam mengabdi kepada bangsa, karena jika tidak, lama-kelamaan dokter-dokter tersebut pun akan merasa dirugikan oleh pemerintah jika semua hal tersebut diabaikan.

Sebagai kesimpulan, dokter adalah sebuah profesi yang luar biasa, dengan intelektualitas yang juga luar biasa, maka jika seorang dokter hanya melakukan hal yang biasa orang-orang yang bukan dokter lakukan, maka ia masih perlu menjalani pendidikan tentang moral yang lebih komprehensif dan konkret. Dan jika masih ada mahasiswa kedokteran yang tidak memiliki rasa patriotisme serta tidak ingin mengabdikan dirinya pada rakyat Indonesia, maka jangan pernah sekali-kali ikut berteriak, “Hidup rakyat Indonesia!” setelah bertertiak “Hidup mahasiswa!” Karena mereka tidak pantas untuk melakukannya, toh mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri, tanpa memikirkan kehidupan rakyat Indonesia, rakyat di negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk untuk menjadi seorang dokter nantinya.


[1] http://regional.kompas.com/read/2011/09/12/19260769/Dokter.Spesialis.Enggan.Mengabdi.di.Merauke, diunduh pada hari Senin,
   tanggal 18 Juni 2012.
[2] http://bahasakemendiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari Selasa, 20 Juni 2012.
[3] Fredrick Willem & Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi), Jakarta, LP3ES, 2005, hlm 152-172.
[4] Ken Conboy, Intel: Menguak Dunia Intelejen Indonesia, Jakarta.
[5] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa, diunduh pada hari Senin,
   tanggal 18 Juni 2012
[6] Ibid.
[7] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa, diunduh pada hari Senin,
  tanggal 18 Juni 2012

DOKTER, DEDIKASI “DIA-DIKASIH” UNTUK BANGSA


Senyum, ya, hal itulah yang saya lakukan secara spontan ketika melihat contoh penggunaan kata dedikasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bagaimana tidak? Contoh penggunaan yang tertera pada kamus tersebut adalah “dokter itu berdedikasi pada ilmunya (profesinya)”[1]. Bahkan ketika orang pertama kali mencari arti kata dedikasi pada kamus besar yang berisi seluruh kata dalam bahasa Indonesia dan dijelaskan dengan komprehensif arti dan contoh penggunaannya, profesi yang akan teringat adalah dokter, sebagai orang yang berdedikasi.

Jelas yang dapat mendedikasikan dirinya untuk bangsa bukan hanya dokter, seluruh profesi pun bisa dijadikan sarana untuk berdedikasi kepada bangsa jika memang pemilik profesi tersebut memiliki tujian yang mulia. Kita bisa mengambil profesi satpam sebagai contohnya. Mungkin banyak dari kita yang mencibir profesi tersebut seraya berkata, “Ah, tidak ada satpam pun semuanya akan tetap aman kok, paling yang mereka kerjakan hanya duduk, diam, merokok.” Memang benar, tugas mereka hanyalah menjaga, jika ada sesuatu yang salah, barulah mereka berindak, namun coba tanya pada diri kita sendiri, apakah kita mau menjadi satpam? Apakah kita mau menjaga ketertiban dan keamanan daerah yang ditugaskan kepadanya untuk dijaga? Jika di negeri kita ini tidak ada satpam, saya yakin, polisi pun enggan jika harus berpencar menjaga sebuah tempat kecil, dan hasilnya tempat itu pun, jika tidak ada satpam yang ingin mendedikasikan dirinya demi keamanan, tidak akan ada yang dapat menjamin keamanan. Profesi sederhana? Mungkin terlihat seperti itu, namun tanggung jawabnya besar.

Lalu untuk arti kata dedikasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia[2]. Dan kata dedikasi ini pun sangat erat hubungannya dengan kata pengabdian. Arti dedikasi pada kamus tersebut pun sebenarnya sudah sangat jelas dan konkret, namun jika saya merasa jika saya memilih judul “Dokter, dan dedikasinya untuk bangsa” sebagai judul tulisan saya kali ini, kata dedikasi pada kalimat tersebut mungkin bagi sebagian orang masih akan terasa terlalu luas artinya dan tidak langsung dapat diingat dan dirasakan serta diaplikasikan oleh dokter-dokter di Indonesia sekarang ini. Maka dari itu saya memilih memelesetkan kata “dedikasi” tersebut menjadi “dia-dikasih”, sehinga maksud saya membuat tulisan ini pun saya harap akan lebih mudah dimengerti serta isinya juga akan mudah diresapi. Walaupun jelas sedikit demi sedikit memaparkan maksud arti dedikasi yang sebenarnya khususnya untuk profesi dokter. Maka jadilah judul tulisan saya kali ini “Dokter, ‘dia-dikasih’ untuk bangsa”.

Ya, tidak lain dan tidak bukan dokter “dikasih” oleh Allah kepada bangsa kita ini semata-mata untuk menjalankan tugasnya sebagai manusia yaitu beribadah kepada-Nya dan tentu mendedikasikan dirinya pada bangsanya, yang dalam hal ini adalah Bangsa Indonesia. Maka jika masih ada dokter-dokter yang tidak ingin berdedikasi, tidak ingin mengorbankan tenaga, pikiran, dan waktunya, apalagi yang dari awal ingin menjadi dokter hanya untuk mendapatkan uang dan gaji yang banyak, maka walaupun ia telah bergelar “dr.” di depan namanya, tidak pantas ia disebut dokter. Sama sekali tidak pantas.

Kita lihat saja, menurut Yati Soenarto, Guru Besar Pediatric Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga Peraih Penghargaan Achmad Bakrie untuk kategori keokteran, penghargaan tersebut membangkitkan semangat untuk terus melakukan penelitian. Sebab bagi dokter, melakukan penelitian berarti kehilangan waktu untuk lebih banyak buka praktik melayani pasien yang otomatis mengurangi pendapatan[3]. Salah satu bentuk dedikasi yang konkret, mengorbankan tenaga dan pikiran jelas dibutuhkan dalam melakukan penelitian, dan seperti yang telah beliau tuturkan, dalam melakukan penelitian waktu juga harus dikorbankan, dan harapan memperoleh pendapatan yang besar pun harus ditinggalkan jauh-jauh. Hal itu lagi-lagi dilakukan baik demi dunia kedokteran serta demi bangsa Indonesia.

Selanjutnya, tidak hanya sampai di situ, seorang dokter bernama Nurhayati Hamzah, seorang dokter kelahiran Balikpapan, menjelaskan bahwa dirinya sebagai dokter muda mempunyai suatu tugas penting untuk memperbaiki kesehatan masyarakat, “Hanya memberikan dedikasi terbaik,” ujarnya. Dan didasarkan pada niat berdedikasi tersebut, ia bercita-cita untuk membuka klinik sendiri[4]. Maka, apakah bentuk dedikasi dokter itu sempit? Saya pikir tidak, dedikasi sendiri tidak pernah mengikat, yang dibutuhkan hanya dua hal, pengorbanan dan harapan atas keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia.

Unsur selanjutnya yang ingin saya angkat dari arti kata dedikasi adalah tujuan mulia. Dokter sering dianggap sebagai profesi yang mulia karena mereka bertugas membantu mengobati orang sakit—karena jelas yang dapat mengobati dan menyembuhkan orang yang sakit adalah Allah SWT—dan membantu menjaga masyarakat agar tetap sehat. Kesehatan adalah barang yang mahal, benar, maka dibutuhkan pemahaman atas tujuan yang mulia tersebut serta pemahaman bahwa dokter adalah profesi yang mengemban amanah besar, dan pada Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 27 pun Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” Betapa besar tanggung jawab dokter jika kita benar benar mengerti dan meresapi.

Akan tetapi, pemahaman, dan pengertian akan tujuan yang mulia itu tidak akan bisa ditanamkan hanya mulai ketika menjadi ko-ass, namun sejak dini, paling tidak sejak dokter-dokter tersebut berada pada tahap mahasiswa kedokteran. Para mahasiswa keokteran harus banyak dipaparkan pada masalah kesehatan yang ada pada lingkungannya, dan diajarkan lebih banyak untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, mencari solusinya, sehingga mereka sejak menjadi mahasiswa kedokteran sudah memiliki impian besar, serta tujuan yang mulia untuk menyehatkan bangsa Indonesia. Karena yakinlah, tanpa target yang jelas, impian yang besar, dan tujuan yang mulia, akan sangat sulit untuk mengorbankan tenaga, pikiran, dan waktu, akan sangat sulit untuk memberikan dedikasi penuh.

Dokter-dokter Indonesia sejak dulu sudah banyak yang menjadi orang besar, banyak yang namanya dijadikan nama rumah sakit sebagai sarana untuk mengenang jasa mereka, banyak pula yang bahkan menjadi orang besar di bidang militer serta politik, dan sekarang makin banyak penelitian dokter Indonesia yang diapresiasi oleh masyarakat dunia. Maka apakah kita sebagai dokter atau mahasiswa kedokteran mau diam saja? Apakah kita masih tidak mau mendedikasikan diri kita untuk bangsa kita sendiri? Atau bahkan masih hanya ingin memikirkan kesejahteraan kita sendiri tanpa memikirkan di luar sana banyak yang membutuhkan pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu kita? Jika memang seperti itu artinya kita sudah mengkhianati amanah yang telah kita pilih sendiri, bahkan kita telah mengkhianati amanah yang telah diberikan oleh Allah SWT, karena bagi rakyat Indonesia, dokter-dokter itu diberikan oleh Allah kepada mereka untuk berdedikasi penuh kepada bangsanya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Maka sekali lagi, dokter, “dia-dikasih” untuk bangsa, bangsa Indonesia.


[1] http://bahasa.kemendiknas.go.id/kbbbi/index.php.
[2] Ibid.
[3] http://nasional.vivanews.com/news/read/169326-dedikasi-dokter-peraih-achmad-bakrie-award
[4] http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=74454