Search This Blog

Sunday, March 10, 2013

Pindahaaaan~

Semuanyaaaa :D

Karna satu dan lain hal, blog saya pindah keee...

http://criticalappraisaloflife.tumblr.com/


jadiii...
yang mau baca, silakan baca, yang ngga mau.. ya.. nggapapa sih ._.

woke, see you theeeeere~ :D

*Mungkin beberapa post di sini juga bakal dipindah ke sana :)

Friday, November 30, 2012

"Contributing in an organization is just like consuming drugs; when you've started, you'll keep thinking about it and it'll be hard for you to stop doing it.."

Tuesday, November 6, 2012

DOMBA QURBAN STATERA #TelatPeduliAmat



dan mulai post ini, saya memperkenalkan Label/Tag "Telat Peduli Amat" :D
akibat takut banyak post yang bisa dibilang udah "telat" momennya -_-

Sunday, October 28, 2012

what @abdichsan says about #SumpahPemuda

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kedua : Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pernahkah kita berfikir mengapa Teks Soempah Pemoeda yang dibacakan pada waktu Kongres Pemuda berbunyi tepat seperti itu?  

Ya, 28 Oktober, memang sudah banyak yang ingat bahwa hari ini adalah hari Sumpah Pemuda, tapi kebanyakan hanya ingat saja  

Walaupun mungkin jika pengetahuan saya tentang diadu, saya akan kalah telak.. Namun, yuk mari renungkan sejenak..
 
Pada pertama, hanya ada satu tumpah darah, dan jika kita hanya memiliki satu, apakah wajar jika kita tak mencintainya?

Ya, tanah air Indonesa, kawan :) Cintailah tanah airmu ini, banggakanlah ia! Berikan yng terbaik untuknya! Untuk Indonesia! ;)  

Ini tanah tumpah darah kita kawan! Mengapa kita masih diam saja saat negara ini dipermainkan? Mengapa tak ada yang membelanya?
 
!! Tidak pantas kita menyebut Indonesia adalah tanah air kita, tanah tumpah darah kita jika kita tak membelanya!!

 Lalu yang kedua, mengaku berbangsa yang satu, ya, lagi lagi kata "satu" digunakan dalam teks pemuda ini.

Kata "satu" bukan sembarangan digunakan, namun karena makna persatuannya kawan, maka sampai kapan kita mau terpecah belah?

Bangsa Indonesia. Ya, bangsa ini yang harus kita prjuangkan bersama, bukan kpentingan pribadi. Hapus ego, ayo brjuang bersama!
 
Berjuang untuk bangsa Indonesia, berjuang untuk kelangsungan rakyat Indonesia, itu semua artinya juga berjuang untuk kita!
 
Yang terakhir, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Apa karena ini kita tidak boleh menggunakan bahasa lain?  
 
! Bukan saatnya lagi berfikir sempit. Soekarno bisa berbicara dalam 3 bahasa!! Dan apa itu salah? Tidak kawan.  

 Kita boleh bisa banyak bahasa, baik bahasa asing, apalagi bahasa daerah. Karena dari situlah gerbang kita untuk berjuang...
 
Bagaimana kita bisa mengadvokasikan kepentingan Indonesia ke bangsa asing jika tidak bisa bahasanya?  
 
Bagaimana kita bisa menurunkan nilai perjuangan ke daerah-daerah di Indonesia jika kita tidak bisa bahasanya?  
 
Hanya saja, untuk mempersatukan kita, Bahasa Indonesia hadir :) Dan kewajiban kita untuk menguasainya sebelum bahasa2 lain ;)  
 
Dan junjung tinggi Bahasa Persatuan kita tersebut. , mari bangga mnggunakan Bahasa Indonesia! Jangan pernah malu!  
 
Dan jangan lupa, prjuangan kita untuk Indonesia bukan hanya untuk dunia kok, ini juga kbaikan yg dibawa untuk akhirat nanti ;)  
 
, Niatkan sebaik mungkin, dan lakukan sesegera mungkin, sekecil apapun kontribusimu, itu pasti sangat berharga ;)  

, Jangan jadikan momen ini sbagai satu-satunya momen 'tuk berjuang, jadikan ini titik awal 'tuk trus berjuang!  

Jangan No Action Talk Only, jangan juga No Talk Action only. Karena berbuat dan berkata-kata sama pentingnya ;)

Ya, Sumpah Pemuda sebagai momen "talk" pemuda masa itu, dan Kemerdekaan Indonesia sebagai buah dari "action" mereka.  

Dan yang pasti, bukan berarti kita yang hidup di zaman yang telah lepas dari penjajahan ini perjuangannya bisa kendor ;)  

, Bangkit sedini mungkin! Katakan selantang mungkin! Lakukan sebaik mungkin! dan Perjuangkan sehebat mungkin!

 

Saturday, October 27, 2012

27 Oktober 2012; “Hanya saja, caranya belum tepat.”



     Ya, pagi tadi, setelah saya sarapan, bersiap-siap, dan memasukkan barang-barang saya yang tadinya berserakan ke dalam tas ransel saya, oom saya mengajak saya untuk bersegera turun ke lantai dasar rumahnya, karena beliau akan mengantar saya ke terminal Lebak Bulus dimana saya akan memulai peralanan panjang saya kembali ke Jatinangor setelah merayakan Idul Adha bersama keluarga—walaupun Ibu dan Bapak saya sedang tidak bisa datang dari rumah kami di Makassar kali ini.

                Jarak Bintaro-Lebak Bulus memang tidak bisa ditempuh dengan waktu yang relatif cepat, namun di perjalanan, banyak hal baru yang saya ketahui—thanks to my unbelieveable kind uncle. Setiap ada bangunan baru atau jalanan baru, beliau pasti berkomentar dan menceritakan kapan mulai dibangunnya, mengapa dibangun, bahkan sampai perusahaan apa yang akan menempatinnya. Semua beliau ceritakan dengan amat detail.

                Akhirnya, sampailah kami di dekat pintu masuk terminal Lebak Bulus, namun entah mengapa, oom yang sedang mengemudi ini terlihat tidak menginjak rem, ia hanya menepi, lewat sudah pintu keluar angkot-angkot, dan ia terus maju, dan akhirnya sampailah di dekat mesjid terminal Lebak Bulus, dan ia berkata, “Kan kamu harus beli tiket dulu kan di sini?”. Saya hanya tersenyum dan berkata, “Ngga perlu sih, oom,” lalu sambil turun saya melanjutkan, “Ya sudah, sampai sini saja ya oom, makasih banyak,” dan saya akhiri dengan salim. “Oh oke mas, tadi oom kira kamu harus beli tiket dulu, maaf deh ya, selamat jalan ya hati hati,” begitu salam perpisahan beliau yang tepat pada saat itu pula sebuah bus Prima Jasa bertuliskan Tasik-LB. Bulus melintas di sebelah saya. Dan sesaat setelah itu, oom saya mulai meninggalkan saya yang masih tersenyum.

Ya, benar, seharusnya saya naik bus Prima Jasa Tasik-LB. Bulus itu. Dan sesaat setan sempat membisiki hati saya untuk kesal pada oom saya yang tidak tau bahwa dengan saya turun di pintu masuknya akan lebih mudah untuk bisa naik bus yang baru saja lewat, namun tidak sampai satu menit, alhamdulillah saya sudah bisa tersenyum lagi. Ya, beliau sudah sangat, sangat baik pada saya, dan tindakan beliau yang ingin mengantarkan saya lebih dekat dengan penjualan tiket itu pun adalah niatan baik yang luar biasa, hanya saja, caranya yang belum tepat. :’)

Sering teman, sahabat, kerabat, keluarga, atau bahkan orang tua kita sendiri yang sudah mau berbuat sebaik mungkin, memberikan yang terbaik untuk kita, namun hanya karena caranya salah, kita jadi kesal dan merasa mereka hanya menyulitkan kita saja karena tidak mengerti yang kita inginkan.

Ayolah kawan, kalian pikir semua orang di dunia ini mau berbuat sebaik itu pada kalian? Kalian pikir semua orang menyayangi kalian selayaknya keluarga kalian? Atau kalian pikir ada orang yang lebih besar perjuangannya dalam membuktikan cinta kasihnya pada kalian daripada orang tua kalian sendiri? Saya pikir tidak. Jadi mulai sekarang, berhentilah memandang perbuatan orang lain, sekecil apapun itu sebagai hal yang menyulitkan kalian, biasakan berprasangka baik, biasakan mencari hal baik yang mungkin tersembunyi dibalik segala kejadian yang terjadi di dunia ini, karena semua yang terjadi di dunia ini pasti baik. Why? Because semua kejadian di dunia ini sudah diatur oleh Yang Maha Baik. :)

Selamat mencari dan menerbarkan kebaikan, kawan ;)

"Biasakan mencari hal baik yang mungkin tersembunyi dibalik segala kejadian yang terjadi di dunia ini, karena semua yang terjadi di dunia ini pasti baik."

Thursday, August 16, 2012

Tenanglah, tersenyumlah, berbahagialah, dan bersyukurlah :)

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Ya, siang itu Allah secara langsung menunjukkan kebesarannya dengan membuat ayat diatas tertanam di hati dan pikiran saya. Ketika kebanyakan orang yang memiliki kenangan tentang FK UNPAD di saat senja, saya berbeda. Dan apa saya malu dengan perbedaan tersebut? Tidak, tidak akan pernah, karena semua ini dari Allah.

Selanjutnya, ketika mungkin banyak mahasiswa lain yang menceritakan perasaan pada saat masuk FK, saya kan lebih menceritakan perjuangan saya memasuki FK UNPAD ini, sehingga saya benar benar tenang, tersenyum, bahagia, dan bersyukur masuk FK UNPAD.

Jauh, jauh sebelum saya datang ke Jatinangor, jauh sebelum saya menginjakkan kaki saya pertama kali di Bale Padjadjaran, saya saat itu berada di mesjid SMA Dwiwarna Boarding School, dan waktu itu tepat setelah saya mendirikan sholat maghrib secara berjama’ah di mesjid SMA saya tersebut. Saya sedang duduk di depan pilar mesjid, lalu dengan antusias saya membuka browser di HP saya. Ya, hari itu, senja itu, merupakan waktu pengumuman SNMPTN Undangan, yang sebelumnya saya sudah mendaftarkan diri saya untuk menjadi calon mahasiswa baru di FK UGM di SNMPTN Undangan tersebut. Hanya satu? Bukannya bisa mendaftarkan banyak pilihan? Ya, saya pikir, saya takut jika saya harus mengambil pilihan yang saya tidak inginkan. Tak lama kemudian, browser HP saya dengan cepat me-loading situs pengumuman SNMPTN Undangan itu, saya masukkan nomor pendaftaran saya, dan saya coba mengecek apakah saya lulus, atau tidak. Dan ketika halaman pengumuman itu telah terbuka dengan sempurna, saya langsung tersenyum, tersenyum sangat lebar.

Teman-teman saya langsung menghampiri saya tidak lama setelah saya tersenyum, mereka semua memberikan selamat, “Selamat ya Ichsan, FK UGM!” Namum saya tetap tersenyum saja tanpa berkata apa-apa. Lalu setelah isya, saat ada bimbel di sekolah saya, saya tetap masuk, dan teman-teman saya dengan heran bertanya, “Kok masih bimbel, San? Kan udah FK UGM tadi? Senyum-senyum.” Saya, dengan tetap tersenyum menjawab, “Kalau saya senyum bukan berarti saya sudah lulus kan? Saya belum lulus kok, kita masih harus berjuang bersama.”

Ya, saya belum lulus FK UGM pada saat SNMPTN Undangan, maka tak lama setelah itu, kembali saya  mendaftarkan diri pada SNMPTN Tertulis, dengan pilihan FK UGM, FK UNHAS, Hubungan Internasional UNPAD berturut-turut. Jelas, dengan bersemangat saya kembali belajar, banyak berdo’a, mengikuti beberapa try-out, demi lulus di SNMPTN Tertulis dan masuk di salah satu pilihan saya tersebut. Saya pun memilih lokasi tes di Yogyakarta, sesuai lokasi pilihan pertama saya di SNMPTN Tertulis. Saya, ibu saya, dan beberapa teman saya terbang ke Yogyakarta, dan bersama-sama tes di UIN Yogyakarta.

Dua hari tes, dan saya pulang ke rumah saya di Depok. Sambil menunggu hasil pengumuman, saya banyak berdo’a, selalu minta agar lulus di FK UGM. Lalu saya juga sedikit mempersiapkan daftar jadwal pendaftaran, tes dan pengumuman ujian mandiri di beberapa universitas, jika saja masih belum beruntung untuk lulus di FK UGM ataupun di pilihan lainnya.

Lalu, hari itu pun tiba. Orang tua saya sudah ‘gregetan’ menunggu hasil pengumuman tersebut. Saat itu, juga sama, saya baru saja telah mendirikan sholat maghrib secara berjama’ah di mesjid, namun saya membuka laptop di rumah, mencoba membuka situ pengumuman tersebut. Sekedar info, twitter sudah sangat ramai membicarakan SNMPTN, ya kalian mengerti lah ya seperti apa ramainya. Dan dengan ditemani ibu dan bapak saya, saya memasukkan nomor pendaftaran, berharap lulus di salah satu pilihan yang telah saya daftarkan. Dan apa hasilnya? Jika sadar saya adalah Abdullah Ichsan, mahasiswa FK UNPAD 2011, maka pasti hasilnya sudah bisa tertebak. Ya, sekali saya masih belum lulus di jalur yang satu ini. Saya ulang memasukkan nomor pendaftarannya sekitar 3-5 kali, namun hasilnya masih sama, yaitu belum lulus. Saya, orang tua saya, bersama-sama terdiam, sedikit tersenyum, namun pasti terbersit rasa kecewa di dalam hati.

Lalu saya iseng meng-copy pernyataan ketidaklulusan saya di situs SNMPTN dan saya post di twitter. Saya kira komentar dari teman-teman saya akan tidak jauh dari “Sabar ya san,” atau “Coba lagi, semangat.” Ternyata, subhanallah, satu orang me-reply tweet saya dengan kurang lebih berkata, “Itu tanda-tanda lulus san, coba tanya call center-nya,” dan reply tersebut pun banyak di-retweet oleh teman-teman saya yang lain. Mata saya berkaca-kaca membacanya, seraya berkata dalam hati, “Alhamdulillah, saya punya teman-teman yang luar biasa, terima kasih ya Allah, insya Allah saya akan terus berusaha.”

”…Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf:87)

Jelas, saya tidak mau tergolong kaum yang kafir. Maka tepat esok harinya, saya mulai mendaftar di berbagai universitas untuk mengikuti ujian mandiri, SIMAK UI, SMUP UNPAD, International Program Admission Test FK UGM, Jalur Undangan UMY, Ujian Mandiri UIN Syarif Hidayatullah, Ujian Mandiri UNDIP, dan Jalur Non-Subsidi UNHAS.

Hari-hari setelah itu saya jalani dengan mengikuti ujian kesana-kemari, mulai mengirimkan berkas SMUP UNPAD untuk cek nilai SNMPTN, mengikuti tes SIMAK UI, Ujian Mandiri UIN, dan Ujian Mandiri UNDIP di Jakarta, lalu juga kembali ke Yogyakarta untuk tes International Program FK UGM, bahkan pulang ke rumah di Makassar untuk emngikuti tes JNS UNHAS. Dan jujur, saya sempat berfikir, “Ah, kalau UNPAD, SNMPTN UNHAS saja saya tidak lulus, bagaimana dengan UNPAD?” Dua universitas yang paling yakin pada saat saya mengikuti ujian mandirinya adalah UIN, dan UGM. Namun kali ini, do’a saya berubah, tidak lagi meminta untuk masuk FK UGM, melainkan “Ya Allah, Engkau tahu apa yang kuinginkan, namun Engkau lebih tahu apa yang terbaik bagiku, maka berikanlah yang terbaik, wahai Yang Maha Mengetahui.”

Jujur, orang tua saya sangat gelisah di masa-masa ini, mereka terus bertanya, “Apa yang kurang nak? Apa lagi yang harus dilakukan? Bagaimana jika kamu belum lulus juga?” Namun alhamdulullah, Allah selalu memberi kekuatan dan ketenangan, sehingga saya selalu optimis dan menjawab semua kekhaatiran orang tua saya tersebut dengan senyum, “Insya Allah ada yang lulus bu, pak, kalaupun belum, tahun depan saya janji tidak akan memilih FK lagi, mungkin itu memang bukan yang terbaik jika Allah tidak meluluskan saya.” Aneh memang, biasanya anaknya yang menangis, bingung, gelisah, tapi inilah saya, sekali lagi menjadi beda itu sama sekalil tidak salah kok, malah saya bangga bisa menjadi beda.

Akhirnya, setelah beberapa minggu, beberapa bulan, keluarlah hasil ujian pertama, dari UNDIP, saya alhamdulillah lulus di S1 Ilmu Komunikasi. Saya mengucap hamdalah berkali-kali pada saat itu, saya sangat bahagia, saya pikir, mungkin jika yang lain belum lulus, inilah yang terbaik.

Lalu pengumuman selanjutnya dari UI, namun kali ini, saya belum beruntung, saya tidak lulus di pilihan-pilihan saya di UI. Sehingga kembali saya bersyukur sudah lulus di UNDIP, dan saya mulai membicarakan tentang pembayarannya bersama orang tua saya.

Berselang beberapa hari setelahnya saya pun saya sangat bersyukur saat mendapat pengumuman bahwa saya lulus di beberapa universitas lain, namun saat UNPAD dan UGM belum memberikan pengumuman saya berdo’a, “Ya Allah, tunjukkanlah padaku dan yakinkan aku mana yang terbaik, dan lancarkanlah jalanku dalam menggapai yang terbaik itu.”

Dan lagi-lagi Allah kembali menunjukkan kebenaran firmannya, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azab-Ku sangat berat.”(QS.ibrahim: 7)

Siang itu, ya, siang yang akan saya ceritakan kali ini adalah siang yang saya sebut sebagai kenangan di awal cerita ini. STRATA SATU PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN! Alhamdulillahirobbil alamin, siang itu UNPAD mengumumkan saya, Abdullah Ichsan, lulus! Bahagia? Tentu, saya langsung sujud syukur dan menceritakan ini kepada orang tua saya. Dan alhamdulillah Allah melancarkan semua jalan saya sampai saya benar-benar resmi menjadi mahasiswa baru FK UNPAD 2011.
Saat saya memulai rangkaian kegiatan sebagai mahasiswa baru, Allah menunjukkan bahwa memang FK UNPAD-lah yang terbaik untuk saya, bukan di UGM, UNHAS, universitas lainnya, atau mengapa saya belum lulus saat SNMPTN. Pertama dengan saya tidak lulus di UGM, lalu rekomendasi beberapa dokter mengatakan lebih baik saya memilih UNPAD walaupun saya juga lulus di FK UNHAS, dan banyak lagi hal-hal yang meyakinkan saya untuk masuk FK UNPAD, dan saya pikir jika saya sudah lulus di SNMPTN, saya akan berhenti belajar, cepat puas, dan tidak mau lagi banyak berdo’a dan saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah berjuang ini. Maka saya makin yakin bahwa Allah selalu yang terbaik untuk hambanya. Sehingga jika ada yang masih bingung mengapa masuk FK UNPAD, maka jangan pernah menyesal, jangan pernah bersedih hati, dan tenanglah, tersenyumlah, berbahagialah, serta bersyukurlah, karena inilah yang insya Allah terbaik untukmu. :)

Thursday, June 28, 2012

SANG PEJUANG, SEKALIGUS PELAYAN INDONESIA



              “Dokter Spesialis Enggan Mengabdi di Merauke”. Itu adalah judul sebuah artikel yang berada pada urutan paling atas ketika saya melakukan search pada situs www.google.com dengan kata kunci “dokter indonesia”. Dan tertera pada artikel itu sebuah kutipan dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke, Adolf J Bolang, yang mengatakan bahwa dokter spesialis yang hendak direkrut selalu meminta beberapa syarat seperti fasilitas mobil, gaji besar, jatah perjalanan dinas, dan fasilitas untuk ikut simposium dan seminar kedokteran.[1] Hal yang membanggakan? Atau hal yang memalukan? Tentunya artikel tersebut tidak berada pada urutan paling atas dalam sebuah penelusuran kata kunci jika artikel tersebut jarang dibuka orang. Dan itu artinya, sebelum saya, sudah banyak orang yang membaca artikel berisi keburukan dan aib dokter di Indonesia tersebut. Masih mending jika yang membacanya hanya dokter-dokter Indonesia, bagaimana jika yang membaca sudah sampai dokter-dokter atau orang-orang di negara lain? Apa patut kita bangga atas rasa patriotisme dokter Indonesia sekarang ini? Apa itu hasil belajar dokter Indonesia selama kurang lebih lima tahun? Dan apakah itu yang disebut pengabdian dokter untuk Indonesia?

            Dokter bukanlah profesi yang bekerja hanya ketika mereka menginginkan untuk bekerja, dokter bukanlah profesi yang hanya mencari keuntungan untuk dirinya semta, namun dokter adalah abdi, dimana kata abdi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang bawahan, pelayan, atau hamba[2]. Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengatakan bahawa dokter adalah profesi yang rendah dan hanya bisa menjadi pesuruh, malah mengatakan dokter sebagai abdi di sini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dokter memiliki tanggungan yang besar di punggungnya, dokter adalah orang yang diharapkan oleh rakyat Indonesia untuk dapat berjuang demi negaranya, dan dokter pun merupakan pelayan rakyat Indonesia dalam khususnya pada bidang kesehatan sebagai bidang yang ia tekuni saat menuntut ilmu. Maka dimensi pengabdian dokter sendiri sangatlah luas, tidak harus sebagai tenaga kesehatan, namun juga sebagai pejuang bangsa yang siap membela bangsanya.

Lalu apa saja sebenarnya bentuk pengabdian yang dapat dilakukan oleh seorang dokter? Hanya mengobati orang sakit? Sayang sekali jika sampai sekarang kita masih berpikir seperti itu. Dulu, saat masa Pergerakan Nasional, berdirilah Boedi Oetomo, pada 20 Mei 1908. Dimana mahasiswa dokter bernama Soetomo adalah ketua pertama. Berdirinya Boedi Oetomo, bagi sebagian pihak dianggap sebagai momen Kebangkitan Bangsa Indonesia.[3] Hal itu membuktikan bahwa dokter atau mahasiswa kedokteran bukanlah hanya orang yang dapat mengobati orang sakit, namun juga menjadi pelopor perubahan, pemimpin organisasi yang luar biasa, dan seorang nasionalis yang berdedikasi.

Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan dahulu beberapa mahasiswa kedokteran pernah mendapat latihan militer singkat Daidan (Batalyon) PETA Jakarta. Lalu itu pun belum apa-apa, seorang dokter yang mungkin tidak banyak dari mahasiswa kedokteran hari ini kenal, dr. Rubiono Kertapati adalah orang penting dalam intelejen ketika Sukarno berkuasa. Dimana Rubiono terbiasa menjadi analis intelejen bagi Sukarno.[4] Dia bahkan dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia. Dia aktif dalam Depatemen Pertahan ketika Republik baru berdiri. Dia punya pangkat Letnan Kolonel. Jadi? Masih merasa apa yang kita lakukan sampai sekarang sudah cukup? Masih mau mencari celah agar bisa terhindar dari tugas-tugas untuk mengabdi kepada tanah air? Jika ya, maka berhentilah menjadi dokter ataupun mahasiswa kedokteran sekarang juga.


Pada tahun 1950, jumlah dokter di Indonesia baru mencapai 2.500 orang, lalu pada tahun 1968, jumlah tersebut meningkat dua kali lipat menjadi 5.000 orang. Sekarang? Mungkin sudah puluhan ribu dokter di Indonesia.[5] Namun apakah semua dokter yang ada di Indonesia sekarang mau mengabdikan dirinya sebagai dokter untuk Indonesia? Jawabannya sudah jelas tidak. Paragraf pertama pada tulisan saya kali ini saya pikir sudah dapat menjelaskan banyak terhadap jawaban tersebut. Dokter banyak yang berdalih bahwa mereka tidak mau melakukan praktik di tempat terpencil karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kurang kurang, gaji yang didapatkan kecil, sarana transportasi yang tidak memadai, dan lain sebagainya. Akan tetapi Prof. Anies Baswedan menyanggah peryataan tersebut dengan sebuah kalimat yang tepat, “Secara konstitusional peran menyehatkan masyarakat ini memang tanggung jawab negara, tetapi secara moral ini adalah tanggung jawab mereka yang sudah dididik ilmu kesehatan masyarakat, yakni para dokter.”[6]

Masalah selanjutnya yang tak kalah penting adalah dimana kebanyakan dokter hari ini tidak mau susah susah-susah melakukan tindakan promotif dan preventif, padahal kedua hal tersebut juga merupakan fungsi dokter selain kuratif dan rehabilitatif. Mereka merasa dengan praktek di beberapa rumah sakit ataupun tempat praktek yang mereka dirikan sendiri sudah cukup dianggap sebagai dedikasi untuk bangsa, mereka merasa semua itu sudah cukup menjadi bentuk pengabdian mereka untuk Indonesia, sehingga tidak perlu lagi memberikan pendidikan tentang kesehatan kepada pasien, keluarga pasien ataupun masyarakat luas. Kali ini Dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengeluarkan sebuah pernyataan terkait masalah tersebut dalam orasinya, "Dokter berasal dari bahasa latin docere yang berarti mendidik. Ini berarti tugasnya bukan cuma mengobati tapi juga mendidik pasien, keluarga pasien, dan masyarakat akan kesehatan."[7]

Sayangnya tidak banyak institusi pendidikan kedokteran yang mengadakan acara seperti village project dimana peserta didiknya bisa terjun langsung ke masyarakat yang membutuhkan pertolongannya, khususnya di pedesaan, dimana alat-alat kedokteran masih sangan minim, penyuluhan tentang kesehatan pun masih belum banyak didapatkan. Padahal acara-acara seperti itulah yang bisa menjadi salah satu solusi dari berbagai macam kekurangan dokter Indonesia dalam hal pengabdian di atas, karena acara-acara seperti ini semain membuka lebar kesempatan bagi para calon dokter atau bahkan para dokter umum dan dokter spesialis untuk mengetahui seperti apa sebenarnya keadaan masyarakat di sekitarnya serta mengetuk hatinya untuk mulai lebih peka dan lebih peduli serta menumbuhkan rasa sebagai abdi, pelayan untuk Indonesia.

Akan tetapi kendati pun nantinya para dokter sudah mau mengabdikan dirinya pada negara, bukan berarti pemerintah bisa dengan mudah melepas mereka dan tidak memikirkan pengembangan fasilitas kesehatan di pedesaan ataupun kesejahteraan dokter yang ingin mengabdi tersebut, karena seperti yang dikatakan Prof. Anies Baswedan tadi, pemerinah tetap bertanggung jawab secara konstitusional terhadap kesehatan rakyat. Tidak perlu terlalu mewah memang, tapi setidaknya dokter tersebut bisa nyaman dalam mengabdi kepada bangsa, karena jika tidak, lama-kelamaan dokter-dokter tersebut pun akan merasa dirugikan oleh pemerintah jika semua hal tersebut diabaikan.

Sebagai kesimpulan, dokter adalah sebuah profesi yang luar biasa, dengan intelektualitas yang juga luar biasa, maka jika seorang dokter hanya melakukan hal yang biasa orang-orang yang bukan dokter lakukan, maka ia masih perlu menjalani pendidikan tentang moral yang lebih komprehensif dan konkret. Dan jika masih ada mahasiswa kedokteran yang tidak memiliki rasa patriotisme serta tidak ingin mengabdikan dirinya pada rakyat Indonesia, maka jangan pernah sekali-kali ikut berteriak, “Hidup rakyat Indonesia!” setelah bertertiak “Hidup mahasiswa!” Karena mereka tidak pantas untuk melakukannya, toh mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri, tanpa memikirkan kehidupan rakyat Indonesia, rakyat di negeri tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk untuk menjadi seorang dokter nantinya.


[1] http://regional.kompas.com/read/2011/09/12/19260769/Dokter.Spesialis.Enggan.Mengabdi.di.Merauke, diunduh pada hari Senin,
   tanggal 18 Juni 2012.
[2] http://bahasakemendiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada hari Selasa, 20 Juni 2012.
[3] Fredrick Willem & Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi), Jakarta, LP3ES, 2005, hlm 152-172.
[4] Ken Conboy, Intel: Menguak Dunia Intelejen Indonesia, Jakarta.
[5] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa, diunduh pada hari Senin,
   tanggal 18 Juni 2012
[6] Ibid.
[7] http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13553816/Dokter.Punya.Peluang.Mengabdi.pada.Bangsa, diunduh pada hari Senin,
  tanggal 18 Juni 2012